KARYA : Yuli Lestari
MIMPIKU
Ada
saatnya dalam hidupku aku ingin sendiri bersama angin menceritakan semua
rahasia lalu meneteskan air mata. Duduk sendiri, ditempat yang sepi,
mendengarkan angin yang berbisik-bisik ditelingaku. Berbisik tentang kehidupan.
Kehidupan yang masih kosong.
Ada
sesuatu yang kurang dalam hidup ini, tapi apa? Entahlah.......Aku belum
menemukannya. Didalam otakku aku ingin
berguna untuk bangsaku sendiri. Tapi apa yang bisa aku lakukan?? Prestasi, tapi
aku bukan anak yang berprestasi, belajar selama ini aku sebagai pelajar juga
sudah menjalankan kewajibanku. Tapi tetap saja masih ada yang kurang, aku
merasa aku anak yang tidak berguna untuk bangsaku sendiri.
“Lalu
apa?????”tanyaku dalam angan. Baru kali ini aku merasa galau yang berlebihan.
Dan baru kali ini juga fikiran dan hatiku bisa kompak, biasanya selalu
bertentangan.
“Ras,
masuk udah malam nggak baik anak perempuan malam-malam di luar” suara mama yang
membuyarkan lamunanku. “Angin malam nggak baik buat kesehatan kamu” lanjutnya.
”
Iya ma bentar” langkahku
yang lemas.” Sudah sana kekamar tidur ini sudah malam, besok sekolahkan?”
sambungnya lagi.
Walaupun
sudah dikamar aku tidak langsung tidur. Aku masih melanjutkan lamunanku.
Didalam hatiku aku masih bertanya-tanya dengan cara apa aku bisa menjadi anak
yang berguna bagi bangsaku. Jam menunjukkan pukul 11.00, tetapi aku belum juga
bisa tidur. Dengan langkah perlahan aku keluar dari kamar untuk menengok kamar
Mama, apakah ia sudah tidur atau belum. Untung saja Mama sudah tidur, jadi aku
bisa menonton acara televisi.
Aku
pun berjalan perlahan menuju ruang keluarga, agar tidak terdengar langkah kaki
ku. Sampai di sana, aku pun langsung menyalakan televisi, dengan menekan tombol
power. Entah kenapa acara di televisi itu hanya menayangkan acara berita yang
jelas-jelas aku membencinya. Aku bergumam sendiri, kenapa setiap acara di
televisi hanya menayangkan udah berita politik. “ Aku benciiiiiiii”, tak sadar
aku setengah berteriak di keheningan
malam ini. Aku pun membungkam mulut ku karena sudah berteriak tak jelas seorang
diri. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Tetapi, saat aku hendak
mematikan televisi muncul berita tentang kebakaran di Riau. Dengan langkah
perlahan aku menarik kembali langkah kaki ku untuk duduk. Akupun menyaksikan acara tersebut hingga
akhir.
Sedikit
penyesalan terbayang dalam benakku,
tidak
semua acara
di telivisi hanya menayangkan berita politik. Hingga aku tak sadar aku
berbicara sendiri “Andaikan aku menyaksikan acara itu lebih awal, pasti aku
akan mendapatkan informasi yang menarik”.
Dengan hati yang sedikit kesal akhirnya aku memutuskan untuk tidur. Ku tarik
selimut sampai menutupi seluruh badanku sampai dengan wajahku. Aku mencoba
memejamkan mata. Tapi masih terbayang-bayang dengan keadaan di Riau. Sampai
terbesit didalam benak ku “Apakah ini jawaban dari semua pertanyaanku selama
ini?”.
****
Sampai hari Senin itu datang. Saat Bapak Kepala
Sekolah memberikan amanat dan mengumumkan siapa saja yang ditunjuk untuk
menjadi relawan untuk dikirim ke Riau.Dan ternyata aku adalah salah satunya.
Hati ini senang sekali “Mungkin dengan ini aku bisa berguna untuk bangsaku”.
Hari itupun datang. Hari dimana aku dan ketiga temanku
dikirim ke Riau untuk menjadi relawan disana. Kita tidak hanya berempat tapi
ada banyak anak-anak yang dikirim menjadi relawan juga dari sekolahnya. Kita ke
Riau naik pesawat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 14 jam dan sangat
melelahkan akhirnya kita sampai di tanah Riau.
Sampai disana hati ini rasanya seperti disayat-sayat.
Mata ini tak kuat menahan air mata. Keadaan di sana sangat memprihatinkan.
Angin yang datang membawa segerombolan asap. Membuat dada ini sesak, tidak bias
bernafas. Pohon-pohon yang hangus terbakar, anak-anak yang tidak bisa sekolah,
tidak bisa bermain dengan leluasa. Seakan-akan mereka dikurung dalam kandang
yang tidak bisa keluar. Hewan-hewan yang meninggalkan habitat aslinya, malah
banyak yang meninggal, karena kebakaran hutan itu.
Jujur yang
awalnya aku begitu semangat untuk datang kesini, kini semangatku tiba-tiba
hilang. Rasanya aku ingin pulang, bertemu mama dan papa. Tapi setelah aku
fikir-fikir, “apa gunanya aku datang kesini kalau aku belum bisa berbuat
apa-apa”. “Apa yang bisa aku ceritakan sampai dirumah kalau aku sendiri tidak
tau apa yang terjadi disini”. Aku malu dengan anak-anak itu. Dengan riangnya
mereka tertawa lepas seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Aku mulai bisa menyesuaikan diri. Aku berbaur
dengan masyarakat disana dan para relawan yang datang lebih dulu. Mencoba
menghibur mereka, dan membantu sebisaku.
“Apa ibu betah tinggal disini kalau keadaannya seperti
ini, dan apa ibu tidak berniat untuk pindah ketempat yang lebuh nyaman?”.
Tiba-tiba kata-kata itu muncul dari mulutku. Dan jawabannya beragam. Ada yang
bilang betah tapi ada juga yang bilang udah nggak betah. Tapi kalau mau pindah
belum ada biaya.
Tapi ada satu jawaban yang buat hati ini berdebar-debar
“saya betah tinggal disini walau bagaimanapun keadaannya, karena disini tempat
lahir saya dan saya dibesar disini ini adalah tanah airku, aku akan selalu ada
bagaimanapun keadaannya”.
“Karena saya yakin dibalik kejadian ini pasti ada
hikmahnya, dan saya yakin semua orang Indonesia memiliki sikap yang baik”.
Mungkin itu salah satu wujud sayang mereka terhadap
negaranya yaitu Indonesia. Mereka tidak
ingin meninggalkan tanah airnya walau bagaimanapun keadaannnya. Tapi tidak
semua masyarakat berfikiran yang sama.”Seandainya saja.” fikirku.
Keesokan harinya setelah mengunjungi masyarakat yang
didominasi ibu-ibu, sekarang giliran saya mengunjungi anak-anak. Anak-anak itu
bermain dengan riangnya seakan-akan tidak terjadi apapun disana. Mungkin itu
salah satu penyemangat aku waktu disana. Tapi dibalik tawa anak-anak itu
tersimpan sejuta derita yang tidak mereka ungkapkan terang-terangan. Aku bisa
melihat dari raut mata mereka. Saat aku datang menghampiri mereka, terpancar
dari matanya yang beranggapan aku bisa merubah semuanya menjadi lebih baik.
Tapi sayangnya apa yang bisa aku lakukan, aku hanyalah relawan yang tidak punya
apa-apa. Tapi mungkin bukan itu yang
mereka inginkan melainkan kita harus tetap tertawa, membantu mereka, memberikan
semangat, dan bantuan yang bias kita lakukan untuk mereka.
Hati ini semakin miris saat aku melihat ada dua anak
perempuan yang berdiam diri dibawah pohon. Membawa kertas dengan tinta hitam.
“Hai apa yang kalian lakukan disini?” tanyaku. “ Kita
bingung kak, gimana caranya kita bisa berikan surat ini untuk bapak
Presiden.”jawabnya. Dan sseaat aku buka surat itu dan membacanya.
Untuk
yang terhormat Bapak Presiden Bapak H. Jokowi.
Kami
adalah anak-anak dari Riau memberikan surat ini dengan tujuan
agar
Bapak Jokowi bisa dengan cepat menangani kebakaran di Riau ini.
Kami
ingin bisa belajar, bermain seperti biasanya tanpa terhalang kabut asap.
Kami ingin pemerintah segera menangkap
pelaku-pelaku yang
membuat kebakaran hutan disini. Tolong kami
Pak…
Terima
kasih atas perhatiannya.
Anak-anak
Riau,
Itu isi surat yang mereka tulis. Tiba-tiba mataku
basah. “kalau kakak bantu mau nggak” tawarku.” Pastinya maulah kak” dengan
semangatnya.
Keesokan
harinya aku mengajak anak-anak itu kekantor pos untuk mengkirim suratnya.
Semoga saja berhasil dan cepat bisa dibaca Bapak Presiden. Setelah itu kita
kembali ke rumah Bapak Lurah yang dijadikan tempat untuk masyarakat mengungsi.
Disana kami membantu mereka yang sakit mengenai pernafasan.
Aku merasa aku bisa berguna untuk tanah airku kali
ini. Walau apa yang aku lakukan belum seberapa. Tapi setidaknya aku sudah
berusaha. Dan terjawablah sudah pertanyaan ku selama ini.
Tapi sayangnya waktuku di sana hanyalah sebentar. Baru
seminggu disana aku dan teman-temanku yang membantu kesana sudah ditarik pulang
dan meneruskan sekolah kita. Rasanya aku belum ingin pulang tapi walaupun aku
jauh dari sana aku akan tetap mendoakan kalian. Perpisahan itu dihiasi dengan tangisan haru dan dibanjiri air mata.
Pesanku untuk anak-anak disana ”tetaplah semangat,
jangan lupa tersenyum dan jangan pernah berniat untuk meninggalkan tanah
kelahiran kalian. Harumkan nama bangsa kalian bangsa INDONESIA dan terus cintai
Negara kalian Negara INDONESIA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar