KARYA : Quznul Fauzia Alfionita
M
|
alam
yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam berhembus pelan melewati jendela
kamarku. Serta sinar rembulan yang memancarkan terangnya menebus bumi nan indah
ini. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling
setia di kesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh
Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba
pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti
Bi Inah.” Tebakku
“iya,
sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf
den, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Inah saat
pintu kamarku terbuka.
“ok,
bi Ridho juga udah lapeer banget.”
Candaku padanya.
Bi Inah adalah seseorang yang
merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya
Bi Inah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu
repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat
nilai raportku jauh dari nilai kak Rizki . Hanya ia yang tahu betapa aku ingin
seperti kak Rizki , saudara kembarku.
Dia yang sangat pintar dan selalu disayang dan dipuji mama dan papa akan
kehebatannya. Sedangkan aku sebaliknya. Bahkan mereka tidak pernah menganggap
aku sebagai anak kandungnya sendiri.
****
“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku
seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar
gak sopan jadi anak…” sindir Ayah padaku.
“makanya,
jangan nyerocos aja dong jadi orang itu.” Timpal kakakku, Refo.
“iya
Ridho , kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan
dikit dong. Dasar anak nggak tau diri!!” Tambah Kak Rizki .
“iya
Ridho , betul tuh kata Rizki . Contoh dia. Sopan dikit kenapa sama orangtua,
Dasar anak nggak tau malu!!” Tambah Ibu lagi.
“ok,
aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun segera naik menuju kamarku
tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan
rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan
kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****
Matahari
menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku
terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“hummh,
udah pagi to” ucapku pada diri sendiri, Aku bergegas mandi dan memakai pakaian
sekolahku. Dengan seragam yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku
hanya mengunjungi Bi Inah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih
ya Bi, Ridho sayang Bibi.” Ucapku dengan
tulus padanya
“iya
den, Bibi juga sayangg banget sama den Ridho , semangat ya Den sekolahnya.”
Sahut Bi Inah menyemangati.
Setibanya disekolah, aku segera menuju
ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris.
Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti
kak Rizki yang jago menghitung. Dugaanku
tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak
terisi. Namun kalau Bahasa Inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat
kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa
inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat
menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah
pindah ke Amerika dengan anaknya, Salsha.
****
Waktu seakan berjalan dengan sungguh
cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Rizki
berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku
masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua
terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu di Sekolah Dasar. Kalau kak Rizki
sengaja Papa sekolahkah di sekolah
terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah
siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak
sehebat nilai kak Rizki dan Kak Refo.
Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa,
ambilin raport Ridho ya.” Pintaku
“Papa
sudah janji sama Rizki kalau Papa yang
akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“Ma,
ambilin raport Ridho ya!” pintaku lagi
pada Mama.
“Mama
udah janji sama Refo ngambilin raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus
diwakilin.” Jawab Mama.
“oh
gitu ya.” Balasku dengan kecewa.
Aku hanya bisa menangis sendirian di dalam
kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir
adalah Bi Inah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana
bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Den
Ridho juara 1 den.” Ucap Bi Inah dengan
semangat.
“hah?
Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat. Sponyan aku memeluk Bi Inah erat.
Ternyata
usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Rizki .
****
Setibanya
dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Rizki dan kak Refo menjadi terdiam disaat
kedatanganku dan Bi Inah.
“gimana
hasilnya Dho?, pasti jelekkan.” Ucap kak Refo menyindirku.
“gak
ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“alahhh,
juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Rizki,hahaha.” Ledek Ayah
padaku.
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena
semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan sangat kecewa
aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidak adilan ini. Aku tidak keluar
kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Inah yang hampir setiap
jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang
biasanya.
“oh
Tuhan, kuatkan aku!” pintaku
Dihari ketiga aksi diamku dikamar,
tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari
ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga
kami.
“Salsha?
Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya,
namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya
benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku
sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, Bi
Inah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan
malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****
Aku hanya makan dan terus memasukkan
roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang
dengan topic kak Rizki dan Salsha. Yang
aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga
Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku
disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang
yang ternyata disana ada kak Rizki dan
seseorang yang sangat aku sayangi, Salsha. Disana, aku sedang melihat kak Rizki
memberikan setangkai mawar pada Salsha dengan penuh cinta. Ternyata mereka
sudah jadian dan aku tahu, bahwa Salsha telah melupakanku.
****
Akhirnya, hari yang telah lama
kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun
sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih
hadir dilomba kak Rizki , olimpiade sains. Walau sedikit kecewa, akan
kubuktikan bahwa aku adalah Ridho yang
hebat dan kuat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu
dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita
panggil, juara nasional karate tahun ini. Ridho Syafaruddin dari Jakarta.”
Panggil pembawa acara.
Dengan
diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku
sangat dihargai disini dengan perasaan bangga dan senang, meskipun keluargaku
tak menyaksikannya.
****
Setibanya dirumah, kuletakkan foto
keberhasilan dan piala lomba karateku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak
Rizki dan yang lainnya, kulihat kemurungan wajah mereka disana. Dan setelah
melihat foto keberhasilanku, kak Rizki malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu
sengaja meledek Rizki yaa.. ?” Tanya Papa dengan sinis.
“gak
pa! maksud Papa apa sih??” tanyaku tak mengerti.
“Rizki
kalah dalam Olimpiadenya, sedangkan kamu malah menyombongkan diri dengan
memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto
keberhasilan Rizki dan piala-piala Rizki yang boleh menempatinya. Bukan kamu!!!
baru ikut lomba sekali trus menang aja bangga. Huhhh ” Jawab Papa jengkel dan
marah dan meninggalkanku, yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas
Fotomu sekarang, nggak pantes kamu ada disini !” ucap Mama dengan agak ketus
padaku.
Kulepas foto yang sangat aku harapkan
menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu
selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Rizki, kak Rizki terus
yang dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah
berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah
aku anak kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan
yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka
padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidak adilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan
semenjak itu pula kak Rizki menjadi
seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang sangat tertekan
karena ia kalah di olimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang
biasanya.
“Udahlah
kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah
Dho, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalahkan..?”
jawabnya dengan menangis.
“gak
kak, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah,
pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh
tepat didepanku.
“Pa,
Ma, tolong kak Rizki . Kak Rizki pingsan
Pa!” beritahuku
“apa?
Kamu apain dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“astagfirullahallazim
aku, aku gak ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti
penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada
Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang
tahunku dengan kak Rizki. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter
bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya
hanya satu, setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan
aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya
saudara kembarnya yang ginjalnya cocok
dengan Rizki. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal
Pak” kata dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua
orang yang menyayangi kak Rizki. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu
ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua
ginjalku pada kak Rizki, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku
tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah
memberikan satu ginjal pada saudara ku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari
mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah
sudahlah Ridho, kamu memang saudara yang
kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang
yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Rizki.” Ucap Papa. Ridhopun hanya
terdiam dan terpaku, menahan rasa sakit hati dan menangis di dalam hatinya.
“aku
kecewa sama kamu Ridho, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Salsha
dengan kecewa padaku.
“siapa
yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Refo.
“entahlah,
pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya
dengan gratis pada Rizki. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan
kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?”
gumamku dalam hati.
****
Beberapa jam sebelum operasi
pencangkokan ginjal dilakukan, sebelum operasi dimulai aku menulis sebuah surat
untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan
mereka semua. Orang yang tidak pernah menganggapku ada di dunia ini. Rasanya,
aku sudah sangat lelah dengan semua beban hidupku sendiri.
Dan meninggalkan semuanya dengan
keadaan pilu ini. Sesudah selesai ku tulis semua kenangan dan harapanku selama
ini untuk mereka, surat itu kutitipkan pada Bi Inah. Bi Inah hanya menangis
pasrah mendengar semua ceritaku bahwa aku akan pergi meninggalkan Bi Inah yang
sudah aku anggap sebagi ibu kandungku sendiri. Akupun berangkat menuju rumah
sakit untuk segera menjalani operasi.
@
ruang operasi
Ruang
ini terasa begitu menakutkan dan aku pasrah dengan semua ini. Tapi ini sebuah
demi keluargaku yang aku sayang, walaupun mereka tidak pernah menganggap aku
sebagai anakknya. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting.
Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini,
agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Rizki dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga
akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****
Seminggu
kemudian. . . .
“akhirnya
kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi.
Untung ada pendonor yang baik hati itu, yang mau mendonorkan ginjalnya untuk
kamu sayang.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan
Happy Birthday Rizki, Selamat ya …” ucap semua orang serentak.
“Makasih
ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Ridho mana ya Ma? Gak tau kenapa Rizki kepikiran dia
terus. Hari ini kan ulang tahun kami.” Sahut Rizki .
“iya
ya..? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Inah.
“sebelumnya
Bibi minta maaf sama kalian semua, sebenarnya ada surat yang dititipkan buat
nyonya dari den Ridho.” Jawab Bi Inah sambil menangis sesegukan, lalu berlari
menuju kamar Rizki .
Dan
beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini
surat dari Den Ridho sebelum pergi.”
Beritahu Bi Inah.
Walau
agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk
semua orang yang sangaaat Ridho
sayangi….
Mungkin
saat kalian baca surat ini Ridho udah nggak ada lagi disini. Ridho udah pergi ketempat yang saangaat jaauh dan
Ridho sudah tenang. Oya, gimana kabar kak Rizki ? udah baikan kan?? Gak sakit lagi kan? Semoga kedua ginjalku
dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud. Dan
segala prestasimu. Banggain Mama dan Papa ya Kak. Jangan pernah kecewain
mereka, dan terus sayangi mereka.
Teruntuk
PAPA yang SANGAT KURINDUKAN DAN RIDHO SAYANGG
Gimana
Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak
ada dong ya? Ya iyalah, Ridho si pembuat
onar kan udah gak ada lagi. Pa, Ridho sebenarnya sayang sama Papa dan Mama sama
semua kakak-kakak, Ridho selalu iri lihat kebahagian kalian setiap kumpul,
tetapi Ridho dianggap seakan-akan nggak pernah ada di keluarga. Tapi sekarang
Papa dan semuanya pasti lebih leluasa dengan semua ini. Karena Ridho udah nggak
ada, dan nggak akan nganggu kalian. Untuk Papa khususnya, Ridho sayang bangettt
sama Papa…
Teruntuk
MAMA yang SANGAT-SANGAT RIDHO RINDUKAN
Ma,
Ridho pasti akan sangat rindu dengan
mobil-mobilan pemberian Mama waktu kecil dulu. Ma, Ridho kangeeen banget pelukan Mama dulu. Ridho selalu iri saat Mama hanya menyanjung kak
Rizki disaat ia berhasil atau menang
dalam segala perlombaan. Ridho iri
melihat Mama yang selalu menyemangati kak Rizki
disaat ia sedang sedih dan terpuruk. Ridho iri dengan semua perhatian yang Mama berikan
pada kak Refo dan kak Rizki . Ridho
sangaat iri. Tapi Ridho sayang sama Mama. Dan sampai kapanpun RIDHO
Bakal sayang sama kalian semuaa…
Teruntuk
KAK REFO dan saudara kembarku, RIZKI SYABRUDDIN
Gimana
kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel
music keras-keras dikamar??? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada
lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh seperti aku bukan? Oh, pastinya.
Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK RIZKI, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17
TAHUN. Semoga panjang umur, dan selalu disayang mama dan papa terus yaa.. Yang
mungkin takkan pernah aku rasakan. Jaga kesehatan baik-baik ya Kak.. dan Ridho
disini juga berdo’a mudah-mudahan kak Rizki baik terus sama Salsha. Titip
jagain Salsha ya kak. Sampaikan salam terakhir Ridho buat Salsha kalau Ridho
sayang sama dia. Tapi jangan pernah buat dia nangis, Ridho nggak pengen liat
dia nangis …
Teruntuk
Bi Inah yang aku sayangi,
Makasih
ya Bi buat semuanya yang telah Bibi lakukan selama ini buat Ridho, yang udah
Ridho anggap ibu kandung Ridho sendiri. Yang selalu setia sama Ridho dari Ridho
kecil sampai sekarang. Maaf Bi Ridho nggak bisa balas semuanya sama Bibi, yang
sudah Bibi lakukan selama ini. Ridho minta tolong sama Bibi jaga mereka dengan
baik ya, seperti Bibi menjaga Ridho dari kecil. Ridho minta maaf kalo Ridho udah
ngrepotin Bibi selama ini. Ridho sayanggg Bibi…
Kalian
semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan
kepergianku ini, semuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram.
Ridho harap, gak akan ada lagi yang
terkucilkan,terhina seperti Ridho . Yang selalu menangis setiap malam. Meratapi
semua nasib yang telah Ridho rasakan selama ini. Yang ingin selalu merindukan hangatnya kekeluargaan.
Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku,
seperti aku yang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . .
Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA RIDHO , AAMIIN… Selamat Tinggal SEMUAAAAA…
Ridho SAYANGGGG KALIANNN SEMUA!!!!!!!! I LOVE YOU ALL…
Salam
rindu penuh tangis bahagia,
Ridho
Syafaruddin
Semua
yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Inah dimana Ridho . tetapi
Bi Inah hanya tertunduk diam dan menangis. Namun tiba-tiba telepon rumah
berbunyi..
“iya,
saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
“saya
hanya ingin memberitahu bahwa yang mendonorkan ginjalnya kepada anak bapak
adalah saudara kembarnya sendiri yaitu Ridho Syafaruddin!.”kata Dokter
ditelepon tersebut
Dan sesaat kemudian Papanya menangis
dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Namun mereka terlambat,
Ridho telah pergi untuk selama-lamanya.
Dan meninggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah
tenang dan jauh dari ketidak adilan selama hidupnya selama ini. Walau air mata
tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya.....
****
TAMAT
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJangan ngaku-ngaku buat cerita ini, cerita ini kan aslinya dibuat Dinda Pelangi. Cuma diganti namanya aja. Kasih kredit dong buat pengarang aslinya.
BalasHapusAda beberapa hal lain juga sih yang diganti, tapi isinya sama persis.
HapusApa unsur unsur intrinsik nya?
BalasHapus